Senin, 31 Mei 2010

BELAJAR, TANPA MENYONTEK
Hah … sebentar lagi ujian akhir semester genap akan dilaksanakan. Tugas menumpuk dari pelajaran A sampai Z. Belum lagi kegiatan ekstra kurikuler, mana ada waktu belajar untuk persiapan ujian? Apa mau pakai belajar SKS (Sistem Kebut Semalam)? Rasanya kok, capek banget, ya. Pakai belajar SKS (Sistem Kebut Semalam) tapi materi yang dipelajari banyak. Jadi, solusinya bagaimana? Agar nilai ujian bagus tapi tidak pakai belajar SKS?
Hem … saya jadi ingat ketika saya sedang mengikuti ujian akhir semester ganjil kemarin. Pagi-pagi, sekolah sudah ramai dengan murid-murid yang menghapal materi-materi yang diujikan. Semua murid pegang buku, dibuka, ditutup tapi ada juga sih yang tidak. Sesampainya saya di ruang ujian, pemandangan yang sama terlihat di dalam ruangan. Wah, teman-temanku lagi rajin semua, nih, pikirku.
Bel tanda ujian mulai pun berbunyi. Semua murid serentak memasukkan buku-bukunya ke dalam tas masing-masing, mengeluarkan alat tulis dan tak lupa kartu ujian. Seperti biasa, setiap kegiatan diawali dengan berdoa. Selesai berdoa, pengawas membacakan peraturan ujian dan mulai membagikan lembar jawaban serta soal. Bel berbunyi lagi, tanda bahwa murid boleh mulai mengerjakan soal.
Waktu pengerjaan soal rata-rata sekitar 120 menit alias 2 jam. Awalnya sih, suasana ujian kondusif. Aman, nyaman dan tentram. Kira-kira setelah 1 jam berlalu, banyak murid yang sudah selesai mengerjakan soal, ada yang melemaskan otot-otot jari tangan, memainkan pensil, yah … pokoknya suasana sudah mulai tidak kondusif.
Eh … tiba-tiba … “Sstt, nomer sembilan sampai tiga belas jawabannya apa?”.
Nah lho, suara dari mana itu? Kok berani banget tanya jawaban terang-terangan, pikirku.
“A, B, C, D, D”, sahut suara yang lain.
Saya pun menoleh ke asal suara. Srett … ternyata, teman saya sendiri sedang tanya jawaban sama teman saya yang satunya lagi. Ckckckck … mulai deh, kebiasaan nyonteknya.
Di sekolah manapun kini mungkin juga banyak terjadi kejadian-kejadian seperti yang sudah saya ceritakan. Menurut salah satu guru saya, menyontek tidak hanya diartikan sebagai kegiatan yang satu arah saja—dari si peminta contekan ke pemberi contekan. Si pemberi contekan yang memperbolehkan jawabannya dilihat oleh peminta contekan juga dapat diartikan sebagai kegiatan menyontek.
Dari hari ke hari (masih dalam waktu ujian yang tadi …), maka makin berkembang pesat pula cara-cara menyontek yang dipakai teman-teman saya. Berikut akan saya jabarkan :
1. Tanya teman secara diam-diam. Pertama, beri kode teman yang dituju, entah dengan cara seperti, batuk-batuk, pukul-pukul meja atau bahkan langsung memanggil namanya dengan bisikan super halus. Kedua, jika teman yang dituju sudah menoleh, si pelaku akan menanyakan jawaban soal ke berapa dengan isyarat tangan. Misal nomer satu dengan isyarat telunjuk, nomer dua dengan isyarat telunjuk dan jari tengah, dsb.
2. Lempar kertas kecil yang diremas-remas ke teman yang dituju. Isi kertas ialah nomer soal yang si pelaku tidak tahu jawabannya apa. Dan si pelaku berharap teman yang dituju tersebut memberikan jawaban sesuai dengan permintaan.
3. Pinjam alat-alat tulis ke teman yang dituju, seperti : penghapus, rautan giling, dll. Biasanya, alat-alat tulis itu sudah ditulisi jawaban-jawaban soal ujian menggunakan bolpoin oleh si teman yang dituju.
4. Izin ke kamar kecil. Si pelaku akan minta izin ke kamar kecil dan sesampainya di kamar kecil, si pelaku menuliskan nomer soal yang dia tidak tahu jawabannya di dinding kamar kecil, kemudian keluar. Beberapa menit kemudian, teman yang dituju disuruh pergi ke kamar kecil oleh si pelaku, dan menjawab nomer soal yang sudah dituliskan pelaku di dinding kamar kecil. Media lain yang biasa digunakan juga adalah gulungan kertas kecil yang disembunyikan di bagian tersembunyi di kamar kecil.
5. Menuliskan materi yang diujikan di papan tulis atau meja ujian dengan ukuran huruf sangat kecil dan tidak terjangkau pengawas.
6. Menggunakan bahasa-bahasa tubuh yang sudah disepakati sebelum ujian untuk memberikan jawaban pada si pelaku. Misalnya, option A diisyaratkan dengan menguap, option B diisyaratkan dengan mengucek mata, option C diisyaratkan dengan memegang telinga dan sebagainya.
7. Si pelaku biasanya menghindari kontak mata dengan pengawas kemudian jika sudah merasa posisi duduknya sudah tidak terjangkau pengawas, mulailah dia memberikan isyarat kepada teman yang dituju.
Weleh-weleh … bagaimana ini? Anak-anak bangsa kok malah jadi nyonteker mania?! Pernah saya coba bertanya kepada teman-teman saya, mengapa mereka berani menyontek padahal belum tentu jawaban yang diberikan tersebut 100% benar.
Ada banyak sih tanggapan yang diberikan tapi intinya :
1. Tidak percaya diri dengan kemampuan sendiri, takut nilai jelek dan harus ikut remidi, ingin mencocokkan jawaban milik sendiri dengan jawaban teman yang paling pintar di kelas
2. Karena memang blank. Tidak belajar untuk ujian alias malas.
Nah, yang begini ini, yang harus dibasmi—sikap tidak percaya diri dan malas. Kalau kiat-kiat menghindari sikap tidak percaya diri adalah dengan mulai memahami potensi diri, percaya diri sendiri, hidup harus dimulai motivasi diri sendiri, belajar jangan dianggap beban, keadaan sekolah pun membuat iklim belajar yang sehat. Kalau sikap malas, saya juga bingung. Tapi, mungkin dengan mengingat pelajaran sejarah SD kali ya, tentang perjuangan para pemuda Indonesia untuk mendapatkan pendidikan di zaman penjajahan dulu. Mulai dari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sampai berdirinya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908.
Jadi, jangan pakai sistem belajar SKS, teman! Mulai dari sekarang, ayo kita mulai ubah cara belajar kita menjadi cara belajar yang menyenangkan. Buat diri kamu se-enjoy mungkin dalam belajar. Hindari menghapal! Dan ubah tujuan belajar kamu yang awalnya mencari nilai semata menjadi mencari ilmu sebanyak-banyaknya.
“Jangan belajar untuk menjadi sukses! Jangan mengejar kesuksesan! Tapi, kesempurnaan! Maka kesuksesan akan mendatangimu.”
(Ranchoddas Shyamaldas Chanchad -- 3 Idiots)


Semua Paragrap yang di sembunyikan